
MAKASSAR –Celoteh.Online– Keberadaan manusia silver di Kota Makassar semakin menjadi-jadi. Meski telah berkali-kali ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Sosial (Dinsos), kelompok ini masih nekat beroperasi di jalanan kota. Lebih parah lagi, mereka kini mulai melawan secara terbuka dengan menggunakan anak panah dan batu saat proses penertiban berlangsung.
Kondisi ini bukan hanya memperlihatkan ketidakpatuhan terhadap aturan daerah, tetapi juga mulai menyentuh wilayah pelanggaran hukum pidana. Aksi perlawanan tersebut mencerminkan eskalasi konflik sosial antara aparat penegak aturan dan kelompok yang selama ini berada di sektor informal dan marjinal.
Baca juga : Berkedok Lowongan, Pamflet Manusia Silver Bisa Picu Eksploitasi Jalanan
Dari Gimik Jalanan ke Ancaman Serius
Manusia silver yang awalnya dikenal sebagai kelompok marginal yang mengandalkan cat tubuh dan aksi teatrikal di perempatan jalan, kini berubah menjadi kelompok semi-organisir yang resisten terhadap aparat.
Menurut pengamatan Anshar Aminullah, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia Timur (UIT), pola hubungan dalam kelompok manusia silver telah berkembang menjadi apa yang disebutnya sebagai “solidaritas mekanis.”
“Mereka menunjukkan pola kerja dan ketergantungan yang tinggi satu sama lain saat beroperasi,” ungkap Anshar kepada Celoteh.online, Minggu (25/5/2025).
Dalam analisis sosiologisnya, Anshar melihat bahwa pola tersebut menciptakan ikatan sosial yang kuat, namun justru menimbulkan permasalahan ketika ikatan itu digunakan untuk mengkoordinasi perlawanan terhadap petugas yang sah secara hukum.
“Ini sudah masuk ranah kriminal. Tindakan melempar bahkan menggunakan busur sangat layak dikategorikan sebagai tindakan kriminal,” tegasnya.
Desakan Libatkan Aparat Keamanan Negara
Dengan kondisi yang semakin tidak terkendali, Anshar menyerukan agar Pemerintah Kota Makassar tidak lagi menanggulangi persoalan ini hanya dengan kekuatan Satpol PP atau Dinsos.
Ia menyarankan adanya pelibatan TNI dan Polri sebagai bentuk tindakan hukum yang lebih tegas. Hal ini dinilai penting karena eskalasi konflik bukan lagi sekadar urusan penertiban sosial, tetapi telah bermuara pada ancaman terhadap keamanan dan keselamatan warga.
Baca juga : DPRD Sulawesi Selatan Apresiasi Capaian WTP dari BPK dalam Rapat Bersama
“Kalau terus dibiarkan, Makassar bisa terlihat seperti kota dengan ‘gangster’ pemula. Mereka tidak lagi peduli terhadap aturan dan penertiban oleh pemerintah,” ujarnya tajam.
Menurutnya, kehadiran aparat bersenjata negara seperti TNI dan Polri akan memberikan efek jera yang selama ini gagal dibangun oleh pendekatan administratif semata.
Bahaya Preseden Kekerasan: Ketika Perlawanan Jadi Budaya
Lebih jauh, Anshar memperingatkan bahwa menoleransi kekerasan terhadap aparat negara akan menjadi preseden berbahaya. Jika dibiarkan, tidak menutup kemungkinan kelompok-kelompok lain juga akan meniru pola perlawanan ini.
“Jangan sampai kekerasan ini dianggap wajar dan menjadi contoh buruk bagi kelompok lain yang kelak juga akan berhadapan dengan Satpol PP,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini, tindakan tegas harus dilakukan bukan hanya untuk menertibkan manusia silver, tetapi juga mengamankan legitimasi hukum dan otoritas negara di ruang publik.
“Jangan sampai kekerasan dipelihara sebagai respons saat mereka merasa terancam,” tutupnya, mengingatkan.
(kontributor : Dwiki Luckinto Septiawan)


Tinggalkan komentar