
Oleh : Sudianto _ Owner bp CarWash (coffee and Eatery)
Celoteh.Online – Rangkaian bencana hidrometeorologi yang terjadi pada akhir November menimbulkan dampak luar biasa besar. Data BNPB per 1 Desember pukul 17.00 WIB mencatat 604 warga meninggal dunia, ribuan lainnya terdampak, dan kerusakan fasilitas umum terjadi dalam cakupan yang luas. Angka ini bukan sekadar statistik—ini adalah potret betapa daruratnya situasi yang sedang berlangsung.
Sebanyak 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rusak sedang, dan lebih dari 20.500 rusak ringan. Selain itu, ada 271 jembatan serta 282 fasilitas pendidikan yang rusak. Kerugian ini menunjukkan bahwa kapasitas penanganan bencana pada level daerah jelas sangat terbatas menghadapi besarnya kerusakan dan jumlah korban yang terus bertambah.
Dalam konteks seperti ini, dorongan publik agar pemerintah menetapkan status bencana nasional tidak berangkat dari kepanikan, melainkan dari pertimbangan rasional. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa status bencana nasional mempertimbangkan jumlah korban, kerugian materi, kerusakan sarana-prasarana, luas cakupan, dan dampak sosial-ekonomi. Semua indikator itu saat ini terpenuhi.
Pedoman BNPB tahun 2016 juga menegaskan bahwa status bencana nasional perlu ditetapkan ketika kapasitas pemerintah daerah tidak lagi mampu menangani kondisi darurat, baik dalam hal mobilisasi sumber daya manusia, pengaktifan sistem komando darurat, maupun pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa skala bencana saat ini telah melampaui kemampuan itu.
Penetapan status bencana nasional bukan sekadar label. Langkah ini membuka kemudahan akses bagi BNPB dan BPBD untuk mengerahkan logistik, peralatan, tenaga, pengadaan barang/jasa, hingga percepatan koordinasi lintas kementerian. Dengan kata lain, birokrasi dipangkas agar penyelamatan dan pemulihan dapat berjalan lebih cepat.
Hal lain yang tak kalah penting adalah hak masyarakat. Undang-undang memberi jaminan bahwa warga terdampak berhak atas perlindungan, informasi, bantuan kebutuhan dasar, layanan kesehatan termasuk dukungan psikososial, hingga ganti rugi bila bencana dipicu kegagalan konstruksi. Tanpa status darurat nasional, pemenuhan hak-hak ini berjalan lebih lambat dan tidak selalu merata.
Pemerintah memang harus berhitung cermat sebelum menetapkan status bencana nasional. Namun ketika korban mencapai ratusan jiwa, fasilitas umum lumpuh, dan banyak warga masih belum ditemukan, maka keputusan paling bijak adalah menghadirkan komando tertinggi agar penanganan tidak berjalan terfragmentasi.
Dalam situasi krisis seperti sekarang, yang dibutuhkan bukan sekadar kehadiran negara, tetapi kecepatan negara. Bencana dalam skala besar membutuhkan keputusan yang juga besar. Menetapkan status darurat bencana nasional adalah tindakan strategis untuk memastikan keselamatan warga menjadi prioritas utama, bukan sekadar opsi administratif.

Tinggalkan komentar