Celoteh.online, Makassar – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai proyek pembangunan jalan dan tanggul inspeksi Sungai Tello di Kota Makassar sarat dugaan pelanggaran hukum, terutama dalam proses pengadaan tanah dan perlindungan hak warga terdampak.

Proyek milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tersebut dinilai tetap dipaksakan berjalan meski status lahan warga belum diselesaikan secara sah.

Baca Juga : Setelah Video Viral, LBH Makassar Ungkap Dugaan Pelanggaran Proyek Jalan dan Tanggul Sungai Tello

Kuasa hukum warga dari LBH Makassar, Mirayanti Amin, menegaskan bahwa persoalan utama dalam proyek ini bukan semata ketiadaan sertifikat kepemilikan tanah, melainkan penguasaan fisik lahan oleh warga yang telah berlangsung secara turun-temurun selama puluhan tahun.

Menurutnya, penguasaan fisik tersebut diakui dalam hukum pertanahan dan seharusnya menjadi dasar negara dalam memperlakukan warga terdampak proyek.

“Warga sudah mendiami dan mengelola wilayah itu secara turun-temurun. Mereka memanfaatkan lahan sebagai sumber penghidupan. Pohon nipah di lokasi tersebut bukan tumbuh liar, tetapi ditanam dan diremajakan oleh orang tua dan nenek mereka, lalu dimanfaatkan secara ekonomi untuk bertahan hidup,” ujar Mirayanti.

Ia menjelaskan, sebagian warga juga tinggal menetap di lokasi tersebut selama puluhan tahun. Dalam hukum pertanahan, kondisi tersebut dikenal sebagai penguasaan fisik atas tanah, yang memiliki kekuatan hukum meski tidak disertai sertifikat resmi.

“Memang mereka tidak memiliki sertifikat sebagaimana administrasi negara, tetapi penguasaan fisik yang berlangsung lama itu diakui. Seharusnya negara menghadirkan mereka sebagai subjek terdampak proyek, bukan justru mengabaikan keberadaan mereka,” tegasnya.

Baca Juga : Petani Dipukul, Pekerja PTPN Bersenjata Dibiarkan: LBH Makassar Kecam Aparat

LBH Makassar juga mengungkapkan kerugian besar yang dialami warga akibat penebangan tanaman dan penimbunan lahan dalam proses pembangunan. Kerugian tersebut, kata Mirayanti, tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga menyentuh hak dasar warga.

“Kerugian pertama adalah ancaman hilangnya tanah dengan nilai lebih dari Rp1 miliar. Kedua, hilangnya pendapatan harian dari nipah sekitar Rp350 ribu per hari. Namun ini bukan sekadar soal angka, melainkan hak atas penghidupan yang layak, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas tempat tinggal,” jelasnya.

Berdasarkan hasil pendampingan hukum, LBH Makassar menduga terdapat pelanggaran serius dalam tahapan pengadaan tanah.

Proyek tersebut disebut tetap berjalan di atas lahan yang belum dibebaskan, baik oleh pihak kontraktor maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang (DSDA CKTR).

“Tanah itu belum seluruhnya dibebaskan, tetapi proyek tetap dipaksakan berjalan. Penolakan warga sejak awal tidak pernah dipertimbangkan. Ada kesan pemaksaan kehendak tanpa melihat kondisi di lapangan,” kata Mirayanti.

LBH menyebut, sejak awal warga sebenarnya telah membuka ruang dialog dan mediasi dengan pemerintah. Namun upaya tersebut tidak pernah mendapatkan respons yang serius.

Baca Juga : LBH Makassar Kecam Brutalitas Aparat di Aksi Tolak PBB Bone

Hingga akhirnya, warga bersama LBH Makassar baru mendatangi kantor DSDA CKTR Sulsel pada 12 Desember 2025, saat situasi di lapangan sudah memanas.

“Warga tidak pernah dipanggil atau dilibatkan sejak awal. Kami baru datang ke kantor dinas pada 12 Desember 2025, ketika kondisi sudah chaos dan warga harus berhadapan langsung dengan alat berat. Saat itu kami juga mencoba membuka ruang mediasi dengan DPRD Provinsi Sulsel,” ujarnya.

LBH Makassar turut menyoroti kehadiran aparat keamanan di lokasi proyek pada 6 Desember 2025.

Menurut Mirayanti, kehadiran aparat berseragam dalam konflik agraria berpotensi menimbulkan tekanan psikologis bagi warga.

“Kehadiran aparat sering dibungkus dengan alasan pengamanan proyek. Namun dalam konteks konflik ruang hidup, itu bisa menjadi intimidasi. Warga merasa seolah berhadapan langsung dengan negara ketika mempertahankan tanahnya,” ungkapnya.

LBH Makassar menduga kehadiran aparat tersebut bertujuan menekan warga agar tidak melakukan perlawanan dan bersedia melepaskan lahannya. Kondisi tersebut dinilai memperparah konflik dan mempersempit ruang dialog yang seharusnya dikedepankan dalam penyelesaian sengketa agraria.

Atas kondisi tersebut, LBH Makassar mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghentikan sementara proyek pembangunan hingga seluruh persoalan pengadaan tanah diselesaikan secara adil dan sesuai hukum, serta melibatkan warga terdampak sebagai subjek utama dalam setiap pengambilan keputusan.(*)


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda