Makassar, Celoteh.Online – Konflik agraria yang membelit petani di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, terus menjadi sorotan setelah seorang petani, Dg Layu, mengungkapkan kesaksiannya tentang perampasan lahan yang berlangsung sejak tahun 1981.

Menurutnya, tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan keluarganya dirampas oleh perusahaan perkebunan negara, PTPN, dan hingga kini tidak pernah ada penyelesaian yang berpihak pada petani.

Baca Juga : Dari Tanah Subur ke Zona Konflik: Ketimpangan Agraria Masih Hidup di Takalar

“Tanah saya dirampas sejak tahun 1981 dan yang merampas adalah perusahaan PTPN. Kami terpaksa hanya bekerja sebagai buruh tani untuk kebutuhan sehari-hari. Dampak paling berat adalah sangat sulit memenuhi kebutuhan keluarga. Situasi yang kami alami sangat menyedihkan, penuh intimidasi, dan tidak pernah ada bantuan dari pemerintah setempat,” tutur Dg Layu saat diwawancara langsung melalui via telephone.

Pada kamis 25 september 2025
Ia menegaskan bahwa keluarganya tetap bertahan meski kerap diancam oleh pihak perusahaan maupun aparat. Harapannya sederhana: agar tanah yang dirampas segera dikembalikan.

“Kalau saya bertemu dengan pemerintah, saya akan sampaikan agar kiranya mohon segera diselesaikan masalah ini, yang telah lama dirampas oleh perusahaan PTPN pabrik gula,” tambahnya.

Indarto, perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa kasus yang dialami Dg Layu bukanlah persoalan tunggal. Ia menilai konflik agraria di Takalar merupakan gambaran nyata bagaimana perusahaan besar memonopoli tanah rakyat dengan dalih pembangunan, sementara petani kecil kehilangan hak hidupnya.

Baca Juga : Tanah Leluhur Dirampas, Petani Takalar Tolak Perpanjangan HGU PTPN

“Takalar adalah salah satu titik kritis konflik agraria di Sulawesi Selatan. Kasus Dg Layu adalah bukti bahwa sejak awal tanah rakyat direbut untuk kepentingan perusahaan negara, tanpa ada penyelesaian yang adil. Negara mestinya hadir membela petani, bukan membiarkan intimidasi berulang-ulang,” ujar Indarto.

Menurut data KPA, Sulawesi Selatan termasuk dalam wilayah dengan catatan konflik agraria yang tinggi. Takalar sendiri sudah puluhan tahun menjadi lokasi sengketa antara petani dan perusahaan perkebunan tebu.

Alih-alih membawa kesejahteraan, kehadiran perusahaan justru membuat banyak keluarga petani hidup dalam kemiskinan.

Indarto menambahkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus segera turun tangan.

“Sudah terlalu lama petani menunggu keadilan. Kalau pemerintah membiarkan konflik ini berlarut, yang dirugikan adalah rakyat kecil yang kehidupannya tergantung pada tanah,” tegasnya.

Baca Juga : Mengaku Korban Kriminalisasi dan Intimidasi Internal,Mantan Kepsek SMAN 5 Sinjai Minta Bantuan Kapolda

Kasus Dg Layu mencerminkan wajah ketidakadilan agraria di Indonesia. Meski sudah lebih dari empat dekade berlalu, penyelesaian tidak kunjung datang. Petani terus menjadi korban, sementara perusahaan perkebunan tetap menguasai lahan.

Bagi Dg Layu dan banyak petani lainnya di Takalar, tanah bukan sekadar sumber penghasilan, melainkan jaminan hidup dan keberlangsungan keluarga. Ketika tanah itu dirampas, berarti masa depan mereka ikut dirampas.

Kontributor : Dwiki Luckinto Septiawan

celotehmuda