
Makassar, Celoteh.Online – Konflik lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara I Regional 8 di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, belum berakhir. Meski masa berlaku HGU telah usai, aktivitas pengolahan di lahan itu terus berjalan, diiringi pengawalan ketat aparat kepolisian. Kondisi ini menimbulkan trauma mendalam bagi warga yang mempertahankan tanah mereka.
“Situasinya saat ini kan warga terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya. Warga sekarang menghalau aktivitas pengolahan ilegal yang dilakukan oleh PTPN. Karena warga berusaha menghalau, polisi itu hampir setiap hari, ya puluhan aparat datang untuk mengawal aktivitas itu. Jadi situasinya sekarang masih banyak polisi berkeliaran, berpatroli di wilayah konflik, dan mengintimidasi warga. Akhirnya warga sedikit punya trauma dan ketakutan, apalagi pasca insiden kekerasan kemarin,” ungkap Hasbi Assidiq, pendamping hukum sekaligus Humas Aliansi Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT).
Baca Juga : Petani Polongbangkeng Laporkan Polisi ke Propam Polda Sulsel
Pada senin 22 september 2025, Di konfirmasi di kantor YLBHI-LBH Makassar Hasbi menyebut, intimidasi dilakukan dengan cara mendatangi rumah warga dan mencari orang-orang tertentu yang dituding provokator.
“Padahal senjata tajam atau parang itu sebenarnya adalah alat produksi dari petani. Karena dia petani, parang itu memang melekat. Nah, persoalannya, polisi justru mengintimidasi dengan mencari orang-orang tertentu tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan secara jelas,” jelasnya.

Kondisi ini membuat warga semakin resah. Menurut Hasbi, tindakan aparat berpotensi menakut-nakuti petani agar mundur dari perjuangan mempertahankan hak atas tanah. “Ini sebenarnya tindakan intimidasi, berusaha menakut-nakuti warga yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya,” tambahnya.
Rahmat, salah satu petani, mengaku kehilangan rasa percaya terhadap aparat.
“Bukan hanya sakit di badan, tapi hati kami juga hancur. Polisi yang seharusnya melindungi malah berdiri di pihak perusahaan. Kami diperlakukan seolah-olah kami tidak punya hak,” ucapnya lirih.
Sejumlah petani, baik laki-laki maupun perempuan, dilaporkan mengalami pemukulan dan luka lebam. Kehadiran aparat bersenjata di sekitar desa hingga September 2025 memperpanjang rasa takut warga.
Atas kondisi tersebut, para petani mendesak negara menghentikan pengawalan aparat terhadap perusahaan, sekaligus menjalankan reforma agraria sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria dan Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.(Kontributor : Dwiki Luckinto Septiawan)

Tinggalkan komentar