
Oleh: Sufriadi Arif, S.Pd.I., M.Si
Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan
Ketua DPC PPP Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo, khususnya Kota Sengkang, sejak dahulu dikenal luas sebagai kota santri. Julukan ini bukan sekadar klaim kosong. Di kota ini berdiri salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Indonesia Timur, yaitu Pondok Pesantren As’adiyah. Didirikan pada tahun 1927 oleh AG. KH. (Alm.) M. As’ad, pesantren ini telah melahirkan ribuan ulama dan tokoh bangsa, serta memiliki ratusan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini, pesantren tersebut dipimpin oleh AG. Prof. Dr. Nazaruddin Umar, M.A., Imam Besar Masjid Istiqlal dan tokoh nasional di bidang keagamaan.
Namun sangat disayangkan, identitas religius Wajo sebagai kota santri kini menghadapi ancaman serius. Munculnya maraknya tempat hiburan malam, khususnya karaoke, perlahan tapi pasti mulai menggerus citra religiusitas kota ini. Ironisnya, saat minat masyarakat luar untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Pesantren As’adiyah terus meningkat, kota Sengkang justru menghadapi realitas yang mencoreng nilai-nilai syariah dan kearifan lokal.
Dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, jumlah tempat karaoke—baik yang legal maupun ilegal—terus bertambah bak jamur di musim hujan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak tempat karaoke ini beroperasi hingga dini hari (pukul 03.00 WITA), menyediakan minuman keras, serta menyediakan pemandu lagu perempuan dengan pakaian yang jauh dari nilai-nilai kesopanan, apalagi nilai keislaman. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk pada kerusakan moral dan sosial.
Keluhan demi keluhan dari masyarakat, tokoh agama, hingga ormas Islam seperti MUI Wajo nyaris tak membuahkan hasil. Alasan klasik yang kerap muncul adalah “tempat karaoke itu memiliki izin resmi dari pemerintah daerah.” Namun, pertanyaannya: apakah izin yang diberikan juga meliputi penyediaan minuman keras, praktik amoral, dan jam operasional yang menabrak batas kewajaran?
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fenomena ini. Regulasi daerah tidak boleh menjadi tameng untuk pembiaran terhadap pelanggaran nilai dan norma agama. Jika memang izinnya dilanggar, maka Pemda Wajo harus berani mencabut izin tersebut tanpa kompromi. Jangan sampai kepentingan ekonomi segelintir orang menghancurkan nama besar Wajo sebagai kota santri.
Adapun tempat-tempat hiburan malam yang beroperasi secara ilegal, apalagi jika berlindung di balik nama besar seseorang atau kelompok, harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penegakan hukum harus adil dan konsisten.
Saya, sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, akan memberi perhatian khusus terhadap fenomena ini. Ini bukan sekadar isu lokal, tapi persoalan identitas, moralitas, dan masa depan generasi muda kita. Saya juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, tokoh agama, pemuda, dan pelajar untuk bersama-sama menjaga marwah Wajo sebagai kota yang lahir dari rahim keilmuan dan keislaman.
Jangan biarkan Wajo ternoda oleh budaya permisif dan liberalisme yang tidak terkendali. Jangan biarkan nama besar Pesantren As’adiyah tercemar oleh hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Kita semua punya tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga identitas kota ini sebagai pusat keilmuan, keagamaan, dan akhlak mulia.
(catatan perjalanan pengawasan diwajo 28/06 )


Tinggalkan Balasan ke INDONESIA MERDEKA SEKEDAR WACANA ? – Celoteh.Online Batalkan balasan