
Makassar – Celoteh.Online – Sidang keempat kasus kekerasan seksual yang mengguncang Sekolah Luar Biasa (SLB) Laniang kembali digelar di Pengadilan Negeri Makassar pada Rabu, 7 Mei 2025. Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli dari Rumah Sakit Bhayangkara untuk memberikan keterangan soal dampak psikologis yang dialami korban.
Baca juga : Dari Spanduk ke Sel Tahanan: Aksi Damai Berakhir Intimidasi
Dr. Joko, ahli forensik psikiatri dari RS Bhayangkara, menyampaikan bahwa korban yang merupakan anak dengan disabilitas rungu wicara mengalami trauma berat yang bersifat permanen. Ia menegaskan bahwa meski korban tidak bisa berbicara dan mendengar, kemampuan kognitifnya tetap normal. Ini artinya, seluruh kejadian yang dialami akan tersimpan utuh dalam memorinya.
“Trauma yang dialami korban tidak akan hilang sampai kapanpun, hanya bisa diminimalisir dampaknya. Karena memori dan mental korban itu normal,” jelas dr. Joko di hadapan Majelis Hakim.
Baca juga : 12 Jam Kerja, Upah Tak Sesuai: Buruh Huadi Tuntut Bayaran Lembur
Dalam pemeriksaan ahli, dr. Joko menjelaskan bahwa dirinya menggunakan metode auto anamnesa, yakni mewawancarai langsung korban dan mencari informasi tambahan dari lingkungan sekitar, termasuk membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Metode tersebut menunjukkan bahwa trauma korban bersifat mendalam dan kompleks.
Wali korban yang dihadirkan kembali dalam sidang juga memberikan kesaksian tambahan yang belum sempat disampaikan pada sidang sebelumnya. Ia mengungkap bahwa korban kerap menolak datang ke sekolah setiap hari Senin dan Selasa. Alasannya berkisar dari berpura-pura sakit hingga mengaku pakaiannya kotor. Namun ternyata, hari-hari tersebut adalah jadwal mata pelajaran olahraga — momen yang berkaitan langsung dengan pelecehan yang dialami korban.
Baca juga : Sidang Bara-barayya Memanas: Warga Tantang Terlawan Hadir Jawab Tuduhan
Dalam sidang, wali korban juga memperagakan ulang beberapa tindakan pelecehan yang dialami oleh korban di sejumlah lokasi sekolah, mulai dari toilet hingga ruang kelas. Semua ini menguatkan bukti bahwa kekerasan tersebut bukan kejadian tunggal, melainkan berulang.
“Hal ini menjadi preseden buruk bagaimana tenaga pendidik yang seharusnya melindungi dan mendidik siswanya, justru malah menjadi pelaku pelecehan. Terlebih lagi, korbannya adalah anak penyandang disabilitas,” ujar Razak, pendamping korban dari LBH Makassar.
(Kontributor : Dwiki Luckianto S)


Tinggalkan komentar