Oleh : Sudianto (Owner BP Carwash)

Celoteh.Online – Tahun 2025 dapat dibaca sebagai titik jeda yang menentukan bagi perjalanan ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Di tengah ketidakpastian global—mulai dari perlambatan ekonomi dunia, konflik geopolitik, hingga tekanan perubahan iklim—Indonesia tidak sekadar bertahan, tetapi juga menunjukkan daya lenting (resilience) yang relatif stabil. Namun, ketahanan ini bukanlah garis akhir. Justru dari 2025 inilah tantangan menuju 2026 menjadi lebih nyata: apakah Indonesia mampu mengubah pertumbuhan menjadi kesejahteraan yang inklusif dan berkelanjutan, atau justru terjebak dalam stagnasi struktural.
Secara ekonomi, kinerja Indonesia sepanjang 2025 menunjukkan capaian yang cukup solid. Pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5 persen, ditopang oleh konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, serta kinerja ekspor yang tetap mencatatkan surplus perdagangan. Inflasi terjaga dalam rentang sasaran, mencerminkan efektivitas koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. APBN 2025 memainkan peran penting sebagai shock absorber, terutama dalam menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas sektor usaha. Namun demikian, tantangan mendasar masih terlihat pada kualitas pertumbuhan. Penciptaan lapangan kerja yang produktif dan bernilai tambah tinggi belum sepenuhnya sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi, sehingga persoalan pengangguran terselubung dan pekerjaan informal masih cukup dominan.
Dari sisi sosial, 2025 memperlihatkan dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Mobilitas penduduk meningkat, urbanisasi berlanjut, dan ketimpangan antarwilayah masih menjadi pekerjaan rumah besar. Meski angka kemiskinan menunjukkan tren penurunan, ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak masih terasa, khususnya di wilayah perdesaan dan kawasan timur Indonesia. Di sinilah tantangan kebijakan sosial menjadi krusial: pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi pemerataan berpotensi memicu kerentanan sosial dalam jangka menengah.
Sementara itu, aspek budaya justru menjadi salah satu kekuatan tersembunyi Indonesia di tahun 2025. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, identitas budaya lokal tetap hidup dan bahkan menemukan ruang baru melalui ekonomi kreatif, pariwisata berbasis budaya, serta platform digital. Budaya tidak lagi semata simbol tradisi, melainkan sumber nilai ekonomi dan perekat sosial. Namun, komersialisasi budaya tanpa perlindungan yang memadai juga membawa risiko: erosi nilai, homogenisasi, dan hilangnya makna lokal jika tidak dikelola dengan kebijakan yang berpihak pada pelaku budaya itu sendiri.
Memasuki 2026, tantangan Indonesia bersifat multidimensional. Pertama, tekanan eksternal akibat perlambatan ekonomi global berpotensi memengaruhi investasi dan ekspor. Kedua, transformasi struktural—terutama peningkatan produktivitas tenaga kerja, digitalisasi UMKM, dan hilirisasi industri—harus dipercepat agar Indonesia tidak terjebak dalam pertumbuhan kelas menengah yang rapuh. Ketiga, penguatan modal sosial dan budaya menjadi kunci menjaga stabilitas di tengah perubahan ekonomi dan teknologi yang cepat.
Singkatnya, 2025 adalah tahun ketahanan, sementara 2026 adalah tahun ujian arah. Keberhasilan Indonesia ke depan tidak hanya ditentukan oleh angka pertumbuhan, tetapi oleh kemampuan negara mengelola ekonomi yang adil, masyarakat yang inklusif, dan budaya yang berakar kuat. Tanpa itu, pertumbuhan hanya akan menjadi statistik—bukan kemajuan yang dirasakan bersama.


Tinggalkan komentar