Oleh: Sudianto (Owner BP CarWash)

Celoteh.Online – Fenomena banyaknya sarjana yang beralih profesi menjadi pengemudi ojek online (ojol) bukan sekadar persoalan pilihan kerja individual, melainkan cermin ketidakseimbangan struktural dalam sistem ekonomi Indonesia.

Data menunjukkan sekitar 25 persen pengemudi ojek online merupakan lulusan perguruan tinggi. Angka ini menegaskan bahwa pasar tenaga kerja nasional belum mampu menyerap lulusan pendidikan tinggi secara optimal.

Kondisi tersebut mengindikasikan adanya mismatch antara output pendidikan dengan kebutuhan dan kapasitas lapangan kerja. Pendidikan terus mencetak sarjana, namun sektor ekonomi yang seharusnya menjadi penopang penyerapan tenaga kerja berkualitas justru tidak tumbuh secara memadai. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi terpaksa masuk ke sektor informal demi bertahan hidup, meski kompetensi akademik mereka jauh melampaui tuntutan pekerjaan tersebut.

Persoalan ini tidak dapat dilepaskan dari arah strategi pembangunan ekonomi nasional. Selama ini, kebijakan ekonomi cenderung belum menempatkan sektor manufaktur sebagai lokomotif utama pertumbuhan. Padahal, industri manufaktur memiliki multiplier effect besar: menyerap tenaga kerja dalam jumlah masif, menciptakan nilai tambah, mendorong alih teknologi, serta memperkuat struktur ekonomi domestik.

Ke depan, pembangunan ekonomi harus ditata ulang dengan fokus pada penguatan industri manufaktur, pendidikan kewirausahaan yang aplikatif, pelatihan kerja berbasis kebutuhan industri, serta reformasi hukum yang benar-benar berpihak pada penciptaan lapangan kerja.

Sistem ekonomi juga mesti dibangun secara bottom-up, dengan memperkuat basis ekonomi lokal agar siklus ekonomi berjalan sehat dan inklusif.

Dalam kerangka tersebut, pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan. Indikator keberhasilannya jelas: Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat secara berkelanjutan dan bertumbuh seiring dengan penguatan struktur ekonomi wilayah maupun nasional, bukan semata didorong oleh ekstraksi sumber daya alam.

Sayangnya, upaya tersebut justru terhambat oleh kekeliruan kebijakan, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Regulasi insentif fiskal seperti tax holiday selama ini lebih banyak diberikan kepada sektor pertambangan, bukan kepada sektor manufaktur yang memiliki potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan penguatan ekonomi nasional.

Kesalahan terbesar tercermin dari besarnya insentif yang digelontorkan ke sektor sumber daya alam seperti nikel dan batu bara. Padahal, sektor-sektor ini cenderung padat modal, minim tenaga kerja, dan rentan menimbulkan kerusakan lingkungan. Sementara sektor manufaktur—yang mampu menjadi tulang punggung ekonomi jangka panjang—justru kurang mendapat keberpihakan kebijakan.

Kebijakan hilirisasi yang digadang-gadang sebagai solusi pun belum sepenuhnya memberi manfaat bagi masyarakat. Faktanya, sebagian besar industri pengolahan nikel masih dikuasai oleh pihak asing. Negara justru menanggung dampak lingkungan, kehilangan potensi penerimaan fiskal, dan terbatasnya transfer teknologi. Pertumbuhan ekonomi di daerah tambang memang tampak tinggi, namun tidak sepenuhnya dinikmati rakyat.

Pajaknya minim, lingkungannya rusak, dan keuntungan ekonomi lebih banyak mengalir ke luar negeri.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka fenomena sarjana menjadi pengemudi ojol akan terus berulang dan bahkan membesar. Ini bukan kegagalan individu, melainkan kegagalan sistemik. Indonesia membutuhkan keberanian untuk mengoreksi arah kebijakan ekonomi—beralih dari ekonomi berbasis ekstraksi menuju ekonomi berbasis nilai tambah, industri, dan manusia.

Tanpa perubahan mendasar tersebut, mimpi Indonesia Emas hanya akan menjadi jargon, sementara generasi terdidik kita terus berjuang di sektor informal, memutar roda ekonomi yang tak pernah benar-benar membawa mereka naik kelas. (*)


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda