Oleh : Sudianto

Kredit Usaha Rakyat (KUR) dirancang sebagai instrumen kebijakan publik untuk memperluas akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang selama ini mengalami hambatan akses kredit formal. Dalam perspektif ekonomi pembangunan, KUR bukan sekadar mekanisme kredit murah, melainkan bagian dari upaya memperkuat struktur ekonomi daerah melalui peningkatan financial inclusion, produktivitas, dan penyerapan tenaga kerja.

Secara makro, perekonomian Sulawesi Selatan menunjukkan tren pertumbuhan yang positif, dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sekitar 5,02 – 5,18 persen pada 2024–2025, mencerminkan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan meski di tengah tantangan ekonomi global dan domestik. Kontribusi sektor primer, perdagangan, dan jasa tetap dominan dalam struktur ekonomi regional tersebut.

Dalam konteks ini, data OJK mencatat bahwa total kredit UMKM di Sulsel telah mencapai lebih dari Rp61 triliun, dengan porsi sekitar 37–38 persen terhadap total kredit perbankan dan kualitas kredit yang relatif terjaga dengan rasio Non Performing Loan (NPL) UMKM di bawah 5 persen.

Khusus mekanisme KUR, hingga pertengahan 2025, realisasi penyaluran di Sulsel mencapai sekitar Rp9,36 triliun kepada lebih dari 160.000 debitur, dengan sektor pertanian dan perdagangan menjadi penerima utama. Secara regional, Sulsel juga tercatat menyumbang 50 % kontribusi KUR di Kawasan Sulawesi–Maluku–Papua, sebuah indikator peran provinsi ini dalam dinamika ekonomi kawasan timur Indonesia.

Dari sudut pandang ekonomi, beberapa hal utama dapat diidentifikasi dalam evaluasi mekanisme KUR di Sulsel:

1. Akses dan Adopsi Kredit Produktif

Penyaluran KUR yang signifikan menunjukkan peningkatan akses modal bagi UMKM. Akan tetapi, penetrasi KUR masih belum menjangkau seluruh potensi usaha produktif secara merata. Hambatan struktural dalam credit scoring dan kemampuan manajerial UMKM memengaruhi adopsi kredit produktif, sehingga sebagian dana kredit berpotensi terserap untuk kebutuhan yang tidak produktif jika tidak didampingi dengan program literasi keuangan yang komprehensif.

2. Efisiensi Penyaluran dan Pengelolaan Risiko

Data menunjukkan bahwa penyaluran KUR masih terkonsentrasi pada sejumlah besar debitur mikro, dengan sektor pertanian mendominasi penyerapan dana. Dari perspektif ekonomi risiko, dominasi kredit mikro harus diimbangi dengan kemampuan UMKM dalam manajemen usaha dan mitigasi risiko. Rasio NPL yang relatif terjaga mencerminkan kualitas portofolio yang belum membebani sistem, namun kewaspadaan terhadap perubahan kondisi bisnis tetap diperlukan.

3. Sinergi Kebijakan dan Pendampingan Usaha

Mekanisme KUR idealnya bersinergi dengan kebijakan pendukung seperti pembinaan teknis usaha, pembelajaran pemasaran, akses ke value chain, serta digitalisasi. Tanpa pendampingan yang memadai, kredit murah belum tentu meningkatkan produktivitas secara signifikan. Pendekatan struktural ini penting untuk memastikan bahwa UMKM tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan berkontribusi pada peningkatan nilai tambah ekonomi regional.

4. Kontribusi terhadap Kinerja Ekonomi Regional

Peran KUR dalam memperkuat UMKM berpotensi memperkokoh kontribusi sektor riil terhadap pertumbuhan ekonomi Sulsel, terutama bila diintegrasikan dengan strategi pengembangan komoditas unggulan seperti pertanian, perikanan dan kreatif. Hal ini penting mengingat konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi regional.

Secara keseluruhan, mekanisme KUR di Sulawesi Selatan menunjukkan efektivitas sebagai katalisator pembiayaan UMKM, namun masih menghadapi tantangan dalam optimalisasi penggunaan dan peningkatan kualitas usaha. Pendekatan kebijakan yang lebih terintegrasi — menggabungkan akses kredit, literasi keuangan, pendampingan usaha, dan penguatan institutional framework UMKM — diperlukan untuk memaksimalkan kontribusi KUR terhadap pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di tingkat regional. (*)

.

celotehmuda