Oleh: Jovando Rahian (Akademisi)

Celoteh.Online – Indonesia Emas 2045 sering kita dengar sebagai cita-cita besar, sebuah masa di mana negeri kita berdiri tegak sebagai negara maju, adil, dan sejahtera. Namun, cita-cita ini bukanlah sekadar target ekonomi atau infrastruktur semata. Ia adalah perjalanan kolektif yang menuntut kita untuk mengingat kembali dari mana kita berasal dan nilai apa yang menyatukan kita. Ibarat berlayar menuju pelabuhan baru nan megah, kita membutuhkan kompas yang tidak hanya canggih, tetapi juga selaras dengan detak jantung seluruh awak kapal. Kompas itulah yang kita kenal sebagai Pancasila.

Banyak dari kita mungkin merasa Pancasila hanyalah hafalan di sekolah atau deretan kalimat formal di pidato kenegaraan. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, Pancasila adalah cerminan terdalam dari watak dan DNA bangsa ini. Lima sila tersebut—Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan—adalah rumusan filosofis yang merangkum kearifan lokal, etika sosial, dan spiritualitas yang telah berakar ratusan tahun. Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, hari ini, dan masa depan kita sebagai satu kesatuan.

Saat ini, kita hidup di era disrupsi digital yang masif, di mana informasi dan ideologi asing datang tanpa filter. Tantangan terbesar kita bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan nilai dan mental. Di sinilah Pancasila berperan vital sebagai Filter Budaya. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, misalnya, mengajak kita untuk tetap menjunjung etika, empati, dan kejernihan berpikir di tengah hiruk pikuk media sosial. Dengan Pancasila, kita tidak hanya menjadi bangsa yang melek teknologi, tetapi juga bangsa yang bijaksana dan berkarakter kuat.

Indonesia adalah mozaik dengan ribuan warna etnis, agama, dan bahasa. Keberagaman ini adalah kekayaan yang tak ternilai, namun juga rentan memicu perpecahan jika tidak diikat erat. Sila Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan adalah pengingat bahwa keputusan dan arah bangsa harus selalu didasarkan pada semangat musyawarah mufakat, bukan dominasi kelompok mayoritas atau tirani minoritas. Menuju Indonesia Emas, kita perlu merawat rasa memiliki bersama ini, menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebagai jurang pemisah.

Inti dari kemajuan yang beradab adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Indonesia Emas tidak akan berarti jika kemakmuran hanya terkonsentrasi di satu wilayah atau dinikmati oleh segelintir orang. Sila kelima ini adalah panggilan untuk pemerataan, menghapus kesenjangan, dan memastikan setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Ini menuntut pemimpin dan masyarakat untuk memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dan berani menentang praktik korupsi—sebuah penghalang terbesar bagi keadilan sejati.

Penting untuk dipahami bahwa Pancasila bukan hanya tujuan, melainkan metode. Ia adalah cara kita menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan membangun kebijakan. Ketika dihadapkan pada dilema lingkungan, kita bertanya: apakah keputusan ini adil bagi generasi mendatang (Keadilan Sosial) dan selaras dengan alam (Ketuhanan)? Ketika menyusun regulasi, kita bertanya: apakah ini mencerminkan semangat gotong royong (Persatuan) dan mendengarkan suara rakyat (Kerakyatan)? Dengan menjadikan Pancasila sebagai kerangka berpikir, setiap langkah kita akan terarah menuju kemaslahatan bersama.

Maka, perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 bukanlah sekadar mimpi yang akan terwujud dengan sendirinya. Ia adalah tanggung jawab kita bersama untuk menginternalisasi dan mengamalkan lima nilai luhur ini dalam keseharian. Mari kita jadikan Pancasila sebagai kompas yang tidak pernah berkarat, menuntun kita melewati badai global menuju masa depan yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Kita, sebagai bangsa Indonesia, memiliki bekal terbaik untuk itu.

celotehmuda