Oleh : Yusuf Firmansyah ( Akademisi)

Coba kita lihat feed media sosial kita. Berapa banyak konten yang betul-betul nyangkut di hati? Sebagian besar cuma lewat, tenggelam oleh drama, gosip, atau tantangan viral yang sebentar saja sudah basi. Nah, kalau pesan sepenting Pancasila, yang isinya adalah kunci jadi bangsa yang keren, disampaikan dengan cara yang kaku dan ceramah, jelas dia tidak akan dibaca.
Kita harus ganti strategi. Kita tidak lagi perlu teriak-teriak tentang “lima sila,” tapi kita harus bikin nilai-nilai itu jadi gaya hidup yang diam-diam kita tiru.
Bayangkan, kita lebih suka meniru influencer yang gayanya asyik, daripada mendengarkan pidato panjang di podium, kan? Intinya begini, kita tidak bilang “Ini Pancasila, wajib diikuti!” Sebaliknya, kita tunjukkan contoh-contoh keren tentang attitude yang Pancasilais, tapi dibungkus dengan storytelling yang bikin nagih. Pesan moralnya diselipkan, tidak digarisbawahi. Jadi, khalayak merasa itu adalah ide mereka sendiri, bukan suruhan dari atas. Ini jauh lebih ampuh daripada kampanye yang teriak-teriak.
Agar nilai Pancasila diterima, konten kita harus memenuhi hasrat orang saat buka HP. Mereka pengen terhibur, pengen dapat tips praktis, atau pengen merasa terhubung. Kita jangan lagi bikin video yang cuma berisi definisi. Kita harus bikin challenge atau prank yang ujung-ujungnya mengajarkan toleransi, atau membuat thread di X (Twitter) yang mengupas tuntas kenapa musyawarah itu jauh lebih dewasa daripada bacot di kolom komentar. Begitu orang merasa terhibur atau terbantu, nilai Pancasila itu otomatis ikut nempel di kepala mereka.
Bagaimana membuat Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) jadi hype? Jangan bahas sejarah perang. Cukup tunjukkan video tentang grup musik lokal yang anggotanya dari berbagai suku dan agama, tapi ngebentuk lagu yang pecah dan easy listening. Atau, buat komik strip tentang satu RT yang kompak urunan untuk memperbaiki jembatan kecil, padahal yang lewat cuma satu dua orang. Judulnya? Bukan “Persatuan,” tapi mungkin “Gini Nih Rasanya Punya Tetangga Solid.” Pesannya tentang persatuan masuk, tapi tanpa paksaan.
Untuk nilai Keadilan Sosial dan anti-korupsi (Sila Kelima), kita tidak perlu menakut-nakuti dengan hukuman penjara. Kita ubah framing-nya. Semisal, soal Integritas adalah Investasi Terbaik. Sangat mungkin melalui podcast yang mewawancarai pengusaha muda yang bilang, “Saya sukses karena dari nol sudah gak mau pakai koneksi atau sogokan. Reputasi saya clean.” Jadi, jujur dan adil diposisikan sebagai aset paling mahal untuk karier masa depan. Audiens akan mencontoh karena itu menguntungkan mereka secara pribadi, bukan karena kewajiban negara.
Pesan moral paling ampuh itu disampaikan oleh orang yang kita kagumi. Kalau nilai-nilai Pancasila diucapkan oleh gamer idola, chef ternama, atau selebgram favorit, orang pasti lebih tertarik. Mereka adalah pemimpin opini yang kita butuhkan. Ketika seorang streamer tiba-tiba menyisipkan pesan tentang pentingnya beradab dalam berpendapat saat ia kalah tanding, pesan Sila Kedua itu sampai ke ribuan penonton remaja secara lebih efektif daripada sepuluh seminar. Ini adalah cara cerdas mengalirkan Pancasila melalui jalur yang mereka percaya.
Intinya, membumikan Pancasila itu adalah seni. Kita harus cerdik menyembunyikan “sayur” moral di dalam “makanan cepat saji” konten hiburan. Jadikan nilai-nilai itu trending, jadikan cool, dan jadikan bagian tak terpisahkan dari narasi kesuksesan, pertemanan, dan kebahagiaan. Jika kita berhasil, Pancasila akan hidup bukan karena diwajibkan, tapi karena memang keren untuk dimiliki. Ayo, kita mulai re-packaging moral bangsa sekarang, demi mewujudkan Indonesia Emas!

Tinggalkan komentar