
Oleh: Yusuf Firmansyah (Akademisi)
Celoteh.Online – Pancasila, sebagai Dasar Negara, seringkali terasa jauh, seolah hanya wajib dihafal saat upacara. Padahal, lima sila ini adalah sistem operasi yang paling relevan untuk menjaga keutuhan Indonesia modern. Di tengah arus informasi yang tak terbendung, polarisasi politik, dan kesenjangan ekonomi, Pancasila berfungsi sebagai kompas navigasi yang mencegah perpecahan.
Relevansinya hari ini terletak pada perannya sebagai penyeimbang yang mampu menyelaraskan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial.
Jantung dari Pancasila bukanlah ideologi yang kaku, melainkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang disarikan oleh para pendiri bangsa. Tantangan kontemporer kita, dari ketidakadilan online hingga isu lingkungan, menuntut pengamalan yang lebih sadar dan lebih proaktif. Kita ditantang untuk membawa Pancasila keluar dari ruang diskusi formal menuju ruang-ruang interaksi harian, di meja makan, di grup WhatsApp, dan di jalanan.
Pengamalan yang paling mendasar dimulai dari Sila Pertama dan Kedua. Praktik nyatanya adalah Toleransi Aktif. Ini bukan sekadar diam dan membiarkan, tetapi mengangkat suara saat ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau perbedaan keyakinan. Sila Kedua diwujudkan dengan Empati Digital—menolak menyebarkan atau ikut meramaikan konten yang merendahkan martabat orang lain, dan berani membela korban perundungan siber.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia memiliki medan pertempuran paling sengit di media sosial. Mengamalkan sila ini berarti menjadikan diri kita agen penangkal hoaks dan provokasi. Prioritas utama kita adalah identitas kebangsaan di atas afiliasi kelompok suku, politik, atau agama. Wujud nyatanya adalah disiplin untuk memverifikasi fakta sebelum menekan tombol “bagikan”, memastikan kita tidak menjadi pion yang memecah belah bangsa sendiri.
Prinsip kedaulatan rakyat dalam Sila Keempat dapat diuji dan diterapkan dalam skala kecil. Di lingkungan kerja, rapat warga, atau dalam pengambilan keputusan keluarga, pengamalan nyatanya adalah menghargai setiap suara—terutama suara minoritas—dan menerima hasil musyawarah sebagai keputusan bersama. Ini adalah latihan kedewasaan di mana egoisme pribadi harus ditaklukkan demi kebijaksanaan kolektif.
Sila Kelima: Keadilan Sosial menuntut kita untuk berbuat lebih dari sekadar beramal. Ia menuntut keadilan struktural. Jika Anda adalah pemimpin, pastikan sistem yang Anda kelola (promosi, pembagian tugas, akses) bebas dari favoritisme dan diskriminasi. Secara pribadi, pengamalan nyata sila ini adalah menentang segala bentuk ketidaksetaraan dan eksploitasi yang kita saksikan, sekecil apa pun dampaknya.
Intinya, Pancasila adalah filosofi tindakan. Ia hidup bukan karena dihafal, melainkan karena dipraktikkan secara konsisten. Setiap hari, dalam setiap pilihan moral, interaksi digital, dan keputusan komunal, kita memiliki kesempatan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih beradab, adil, dan bersatu. Ketika lima sila ini menjadi standar perilaku minimal kita, saat itulah Pancasila kembali menemukan relevansinya yang abadi.

Tinggalkan komentar