Oleh : Sudianto – Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Sulawesi Selatan.

Celoteh.Online — Hari Guru bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan upacara, unggahan foto, atau untaian ucapan manis. Hari Guru adalah momen refleksi: sejauh mana kita menghargai sosok yang setiap hari berdiri di garis depan peradaban. Di tengah derasnya perubahan teknologi dan budaya, guru tetap menjadi jangkar nilai—penjaga moral, penuntun akal sehat, sekaligus pemandu arah masa depan.
Hari ini, banyak orang membayangkan bahwa internet bisa menggantikan guru. Padahal, teknologi hanya menyajikan informasi, sementara guru menghadirkan kearifan. Mesin dapat menjawab, tetapi hanya guru yang mampu membentuk karakter, menumbuhkan empati, serta memberi teladan tentang bagaimana menjadi manusia yang baik.
Namun ironisnya, di saat tuntutan terhadap guru semakin tinggi, penghargaan yang diterima tidak selalu sebanding. Di banyak daerah, guru masih harus berjuang dengan fasilitas minim, honor yang tidak layak, hingga beban administrasi yang justru menjauhkan mereka dari inti tugas mendidik. Kita sering memuji guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi sering lupa memberikan “tanda jasa” paling mendasar: kesejahteraan, penghormatan, dan dukungan sistem yang memungkinkan mereka berkembang.
Mengapresiasi guru bukan hanya soal memberi ucapan, tetapi memastikan mereka memiliki ruang untuk terus belajar, dilengkapi teknologi yang memadai, dan dibebaskan dari beban yang menghambat kreativitas mereka. Sebab, sebuah bangsa hanya akan maju jika gurunya maju.
Hari Guru seharusnya menjadi pengingat bahwa kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas manusia yang berdiri di depan kelas. Mereka bukan sekadar pekerja; mereka adalah arsitek masa depan. Maka tugas kita bersama adalah memastikan bahwa pekerjaan mulia itu dihargai secara layak.
Di tengah perubahan kurikulum, transformasi digital, dan kompetisi global yang semakin ketat, guru menghadapi tekanan yang tidak ringan. Mereka dituntut untuk terus beradaptasi, menguasai teknologi baru, memahami karakter generasi digital, dan tetap menjaga kualitas proses belajar mengajar. Tantangan ini sering mereka hadapi tanpa keluhan, seakan menjadi konsekuensi alami dari dedikasi yang telah lama menyatu dalam diri mereka. Barangkali inilah yang membuat profesi guru begitu mulia: beban yang berat, namun semangatnya tak pernah padam.
Lebih jauh, Hari Guru juga mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah kerja kolektif. Guru tidak bisa bekerja sendiri; mereka membutuhkan dukungan orang tua, lingkungan sosial yang sehat, serta kebijakan pemerintah yang berpihak pada kemajuan pendidikan. Tak jarang, guru berjuang sendirian di lapangan menghadapi masalah-masalah sosial yang dibawa anak-anak dari rumah atau lingkungan sekitar. Maka, memperkuat ekosistem pendidikan berarti memperkuat guru sebagai poros utama, bukan membiarkan mereka bertarung sendirian.
Pada akhirnya, merawat martabat guru tidak cukup dilakukan hanya pada tanggal peringatan. Penghargaan sejati hadir melalui tindakan konkret: memberi ruang dialog, memastikan pelatihan berkelanjutan, meminimalkan birokrasi, dan mengakui bahwa kualitas mereka adalah kualitas generasi penerus bangsa. Ketika guru dihormati bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kebijakan yang nyata, maka kita sebenarnya sedang membangun pondasi kokoh bagi masa depan Indonesia. Karena dari tangan para gurulah, lahir pemimpin, ilmuwan, pengusaha, dan warga negara yang beradab.
Menghormati guru berarti menghormati masa depan. Dan masa depan itu, sebetulnya, sedang mereka bangun hari ini—pelan, sabar, dan penuh cinta. (*)

Tinggalkan komentar