
Oleh : Sudianto – Owner Bp Carwash (coffe n Eatery)
Celoteh.Online – Fatwa Pajak Berkeadilan yang dirilis MUI pada Munas XI 2025 patut dibaca sebagai koreksi keras terhadap sistem perpajakan yang selama ini jauh dari rasa adil.
Fatwa ini tidak hadir sebagai respons seremonial, melainkan sebagai alarm moral di tengah meningkatnya kecurigaan publik terhadap pengelolaan pajak, mulai dari beban fiskal yang timpang hingga maraknya kasus penyalahgunaan kewenangan.
Inti gagasan fatwa ini sederhana namun tajam: pajak harus dipungut dari mereka yang benar-benar mampu, digunakan untuk kepentingan publik, dan dikelola dengan standar amanah tertinggi.
Prinsip tersebut menempatkan pajak sebagai alat pemerataan, bukan alat pemerasan. Selama ini, praktik di lapangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya kebutuhan primer masyarakat kerap terseret dalam objek pajak, sementara kebocoran fiskal terus berulang tanpa penyelesaian tuntas.
Fatwa ini juga menegaskan batas yang selama ini sering dilanggar: kebutuhan dasar rakyat tidak boleh menjadi objek pajak. Ketentuan ini secara langsung menolak budaya pemajakan berulang terhadap sembako, rumah hunian, dan barang yang menjadi penopang hidup masyarakat kecil.
Pada saat yang sama, fatwa tersebut menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pajak progresif, pajak waris, hingga pewajiban fiskal di daerah yang lebih mencerminkan kepentingan pendapatan ketimbang keadilan sosial.
Poin paling signifikan dari fatwa ini terletak pada penegasan bahwa pemungutan dan pengelolaan pajak hanya memiliki legitimasi moral bila dijalankan secara adil.
Beban pajak yang tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat, serta tata kelola yang tidak transparan, otomatis kehilangan landasan etisnya. Fatwa ini pada dasarnya menempatkan kepercayaan publik sebagai syarat utama keberhasilan sistem perpajakan.
Kini bola ada di tangan negara. MUI telah memberi pedoman yang tegas, lengkap dengan standar etika yang sulit dibantah. Jika pemerintah mampu menjadikannya pijakan, tata kelola pajak dapat bergerak menuju sistem yang benar-benar berpihak pada kemaslahatan umum.
Namun, jika fatwa ini hanya menjadi dokumen yang disimpan di laci, ketidakadilan fiskal akan terus berlangsung dan jarak antara rakyat dan negara akan makin melebar.
Fatwa ini bukan sekadar rekomendasi agama, tetapi peta jalan menuju reformasi pajak yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Pertanyaannya kini: apakah negara siap melangkah?

Tinggalkan komentar