Oleh: Jovando Rahian (Akademisi)

Indonesia Emas 2045 adalah sebuah mimpi kolektif tentang negara maju, berdaulat, adil, dan makmur. Impian ini bukanlah hasil dari keajaiban teknologi semata, tapi buah dari konsistensi memegang teguh sebuah panduan yang usianya sudah melampaui separuh abad, yakni Pancasila. Lima sila ini bukan sebatas lambang di ruang kelas, melainkan adalah kompas abadi yang harus kita genggam erat, yang memastikan setiap langkah pembangunan nasional tidak pernah tersesat dari cita-cita luhur pendirian bangsa.

Jalur menuju kemajuan harus dibingkai oleh moralitas dan etika yang kokoh. Di sinilah Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) memainkan peran krusial. Kedua sila ini menanamkan kesadaran bahwa pembangunan fisik harus selaras dengan pembangunan jiwa. Kita didorong untuk menciptakan teknologi dan ekonomi yang tidak merusak lingkungan atau merendahkan martabat manusia, melainkan untuk melayani dan mengangkat derajat seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial. Ini adalah fondasi etis untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang kita raih adalah pertumbuhan yang berhati nurani dan inklusif.

Mengaplikasikan moralitas ini dalam praktik modern adalah tantangan yang nyata. Ambil contoh kasus yang marak belakangan ini, yaitu isu integritas publik dan akuntabilitas dana negara dalam berbagai proyek strategis. Kasus-kasus korupsi yang terungkap, khususnya yang melibatkan dana infrastruktur atau proyek digitalisasi, menjadi fakta faktual yang merusak harapan “Indonesia Emas.”

Dana yang seharusnya menjadi modal untuk pemerataan dan peningkatan kualitas hidup malah bocor ke kantong-kantong pribadi, secara langsung menghambat terwujudnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat.

Di sinilah kita perlu mengaktifkan spirit Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) dan Sila Keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan). Tantangan integritas tidak bisa diatasi oleh satu lembaga saja. Dibutuhkan persatuan tekad dari seluruh elemen, baik masyarakat, pemerintah, dan swasta untuk bergerak bersama mengawasi dan menolak praktik kotor. Selain itu, Musyawarah dalam pengambilan kebijakan harus benar-benar dijiwai oleh Hikmat Kebijaksanaan, memastikan keputusan yang diambil didasarkan pada kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir elite yang mencari keuntungan pribadi.

Pada akhirnya, seluruh panduan moral dan upaya persatuan ini bermuara pada Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Indonesia Emas tidak akan tercapai jika hanya dinikmati oleh sebagian orang di pusat kota, sementara jutaan lainnya masih tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, atau teknologi. Pancasila menuntut adanya pemerataan hasil pembangunan yang adil. Tantangan integritas publik di atas harus diatasi agar setiap rupiah anggaran negara benar-benar menjadi katalis untuk menciptakan keseimbangan dan kemakmuran yang merata di Sabang hingga Merauke.

Oleh karena itu, Pancasila tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab negara. Ia adalah komitmen pribadi setiap warga negara. Kita, terutama generasi muda, adalah arsitek utama “Indonesia Emas.” Mulai dari memilih pemimpin dengan hati nurani yang bersih, menolak praktik suap kecil di kehidupan sehari-hari, hingga menggunakan media sosial untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan—semua adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai Pancasila. Kita adalah agen perubahan yang membawa semangat gotong royong ke dalam era digital.

Pada akhirnya, mari kita jadikan Pancasila bukan sekadar bacaan sumpah, tetapi DNA yang mengalir dalam setiap inovasi dan kebijakan kita. Hanya dengan kompas Pancasila yang utuh, bermoral, bersatu, bijaksana, dan adil, kita bisa memastikan bahwa ketika tahun 2045 tiba, Indonesia benar-benar bersinar sebagai bangsa yang besar, bukan hanya kaya, tetapi juga bermartabat, adil, dan betul-betul Makmur sentosa.


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda