Oleh : Sudianto – Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Sulawesi Selatan

Wacana pengubahan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali mengemuka bersamaan dengan proses revisi Undang-Undang ASN yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

Bagi sebagian kalangan, langkah ini dianggap sebagai peluang peningkatan status dan kepastian karier. Namun bagi yang lain, kebijakan tersebut menyimpan risiko besar terhadap disiplin anggaran dan arah reformasi birokrasi.

Di atas kertas, perbedaan fundamental antara PNS dan PPPK bukan sekadar nomenklatur. PNS memiliki hak pensiun, jenjang karier jangka panjang, dan fasilitas permanen yang menjadi beban fiskal negara.

Sementara itu, PPPK didesain sebagai instrumen fleksibel untuk mengisi kebutuhan tenaga profesional tanpa menambah liabilitas jangka panjang. Negara mendapat layanan, tetapi tidak terikat pada kewajiban pensiun atau kenaikan gaji berkala sebagaimana PNS.

Karena itu, rencana mengonversi PPPK menjadi PNS secara massal patut dikaji secara kritis. Para analis kebijakan mengingatkan bahwa status PNS membawa konsekuensi belanja negara yang sangat besar.

Belanja pegawai selama ini merupakan komponen yang paling sulit ditekan dalam APBN. Jika penyesuaian status dilakukan tanpa perhitungan matang, lonjakan belanja rutin nyaris tak terhindarkan.

Di tengah ruang fiskal yang stagnan dan kebutuhan belanja publik yang terus bertambah, keputusan ini berpotensi menekan kemampuan negara membiayai sektor strategis lainnya.

Risiko tidak berhenti di pusat. Pemerintah daerah justru lebih rentan. Banyak daerah yang mengandalkan transfer pusat sebagai sumber pembiayaan utama.

Ketika kapasitas fiskal rendah bertemu dengan kewajiban belanja pegawai yang meningkat, pilihan mereka mengecil: memangkas pos belanja publik atau mengorbankan kualitas pelayanan.

Di sisi lain, aroma elektoral juga sulit diabaikan. PPPK kini berjumlah besar dan tersebar di berbagai daerah. Janji peningkatan status tentu memiliki daya tarik politik yang signifikan menjelang momentum elektoral tertentu.

Wajar jika publik mempertanyakan apakah kebijakan ini lahir dari desain reformasi birokrasi atau sekadar manuver politik untuk menggaet simpati.

Lebih jauh, konversi otomatis berpotensi merusak sistem merit yang menjadi fondasi profesionalisme ASN.

Sejak awal, PPPK hadir bukan sebagai jalur pintas menjadi PNS, tetapi sebagai skema alternatif untuk memenuhi kebutuhan SDM dengan mekanisme yang tetap proses seleksi namun tidak membebani anggaran jangka panjang. Jika proses itu dihapuskan begitu saja, insentif kompetensi dan integritas bisa melemah.

Namun demikian, bukan berarti kebijakan ini mustahil ditempuh. Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikannya momentum reformasi ASN, harus ada desain besar yang jelas: bagaimana standar kompetensi dipertahankan, bagaimana manajemen talenta diperkuat, bagaimana struktur penggajian dirasionalisasi, dan bagaimana beban fiskal dikelola secara berkelanjutan.

Tanpa peta jalan (blueprint) yang tegas, perubahan status ini berisiko hanya menjadi proyek populis berbiaya tinggi, tanpa peningkatan kualitas layanan publik.

Pada akhirnya, publik membutuhkan kejelasan: apakah wacana PPPK menjadi PNS ini lahir dari kebutuhan reformasi jangka panjang atau sekadar respons politik jangka pendek. Reformasi birokrasi sejatinya bertujuan menciptakan aparatur negara yang profesional, efektif, dan efisien.

Jika semangat itu yang diusung, maka setiap kebijakan harus berdiri di atas fondasi analisis fiskal yang matang dan prinsip merit yang kuat. Tanpa itu, negara justru berpotensi menanggung beban besar tanpa memperoleh manfaat nyata bagi pelayanan publik.. (editor: Salman)

celotehmuda