Oleh : Muhammad Yahya Hasbullatop

Celoteh.online — Setiap kali musim pemilu tiba, suasana Indonesia selalu berubah. Jalanan penuh dengan baliho, janji-janji politik berseliweran di media sosial, dan masyarakat terpecah dalam berbagai pandangan. Semua orang punya hak suara yang sama — satu orang, satu suara. Di atas kertas, ini terlihat sangat adil. Tapi di lapangan, saya sering berpikir: apakah keadilan itu juga berarti kualitas keputusan kita ikut sama?

Saya tidak sedang menyepelekan rakyat kecil, tapi faktanya, banyak orang yang memilih bukan karena paham visi calon pemimpin, melainkan karena ikut-ikutan, karena calon itu terkenal, atau karena ada “imbalan” tertentu. Di sinilah saya teringat pada pemikiran Plato, filsuf Yunani kuno yang sudah lama memikirkan persoalan ini ribuan tahun sebelum demokrasi modern lahir.

Dalam karya terkenalnya, The Republic, Plato menulis bahwa negara seharusnya dipimpin oleh “philosopher-king” seorang pemimpin yang bijak, mencintai kebenaran, dan memahami hakikat keadilan. Bagi Plato, tidak semua orang mampu membuat keputusan politik yang tepat, karena banyak yang masih dipengaruhi oleh emosi, keinginan pribadi, dan kepentingan sesaat. Ia percaya bahwa mereka yang berilmu dan berpikir rasional seharusnya punya peran lebih besar dalam menentukan arah negara.

Kalau pandangan itu dibawa ke konteks Indonesia saat ini, saya jadi berpikir: mungkin ide “Professor punya tiga suara” dalam pemilu bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah. Bukan karena Professor lebih berharga dari rakyat biasa, tapi karena mereka telah mengabdikan hidupnya untuk berpikir, meneliti, dan memahami persoalan bangsa dengan cara yang lebih dalam. Mereka terbiasa menimbang data, berpikir kritis, dan mencari solusi jangka panjang, bukan sekadar reaksi sesaat terhadap janji kampanye.

Baca juga: Demokrasi Indonesia Diuji, Kebebasan Berpendapat Terancam Tindakan Represif Aparat

Coba bayangkan, jika orang-orang seperti itu memiliki sedikit lebih banyak pengaruh dalam menentukan pemimpin, mungkin arah kebijakan negara akan lebih rasional. Fokusnya bukan hanya pada popularitas, tapi pada substansi: bagaimana pendidikan ditingkatkan, riset dikembangkan, dan ekonomi diarahkan untuk masa depan yang berkelanjutan.

Tentu saja, ide ini bisa dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi modern yang menjunjung kesetaraan. Tapi kalau kita mau jujur, demokrasi tanpa kualitas juga berbahaya. Jika keputusan politik lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen atau iming-iming sesaat, maka hasil pemilu bisa jadi tidak mencerminkan kepentingan jangka panjang bangsa. Plato sudah mengingatkan hal ini berabad-abad lalu ketika rakyat memilih tanpa pengetahuan, maka pemimpin yang terpilih pun akan mencerminkan ketidaktahuan itu.

Saya pribadi tidak ingin demokrasi diubah menjadi sistem elitis. Tapi saya juga percaya, kebijaksanaan harus diberi ruang lebih besar di dalamnya. Memberi tiga suara pada Professor mungkin bukan solusi final, tapi bisa menjadi simbol: bahwa dalam menentukan masa depan negara, pengetahuan dan nalar harus punya tempat yang lebih tinggi dari sekadar popularitas.

Kalau Plato hidup di zaman sekarang dan melihat Indonesia yang penuh semangat demokrasi ini, mungkin ia akan tersenyum. Ia mungkin berkata,
“Lihatlah, kalian sudah memberi kebebasan kepada semua orang. Tapi ingatlah, kebebasan itu hanya akan membawa kebaikan jika digunakan dengan kebijaksanaan.”

Dan mungkin, hanya mungkin memberi tiga suara untuk Professor bukan tentang mengubah demokrasi, tapi tentang meningkatkan kualitasnya. Agar suara yang lahir dari pengetahuan dan kebijaksanaan bisa menuntun suara rakyat menuju arah yang benar.


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda