
Makassar, Celoteh.Online – Hidup Randi, Rian, dan Rama berubah drastis sejak malam penangkapan di awal September 2025.
Tiga bersaudara yang sehari-hari bekerja sebagai buruh harian lepas itu tinggal bersama orang tua mereka, Kamsida, di sebuah kos sederhana di Jalan Rappocini, Kota Makassar. Ruangan sempit tanpa sekat itu menjadi satu-satunya tempat berlindung keluarga berpenghasilan pas-pasan itu.
Baca Juga : Pemkot Bareng FKIJK Sulselbar Berikan Bantuan Sosial ke Keluarga Korban Kerusuhan DPRD Makassar
Namun, pada 2 September 2025 dini hari, kediaman mereka digedor sejumlah orang berseragam.
“Bangun! Kau Rian? Kau Randi? Kau Rama?” teriak salah satu anggota polisi.
Tanpa diberi waktu menjawab, mereka langsung diringkus tanpa surat penangkapan, tanpa penjelasan.
Beberapa hari sebelumnya, 29 Agustus 2025, kerusuhan besar pecah di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan. Kantor wakil rakyat itu dibakar massa. Rian dan sepupunya, Aril, malam itu hanya berdiri di seberang jalan, di depan Apotek Kimia Farma Jalan Faisal.
Sementara Randi sedang bersama pacarnya di Centre Point of Indonesia, dan Rama di rumah. Tak satu pun dari mereka berada di lokasi kerusuhan.
Setelah situasi kota mereda, mereka kembali bekerja seperti biasa sebagai buruh bangunan. Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa hari sebelum ketiganya dijemput paksa oleh aparat.
Baca Juga : Munafri Paparkan Program Unggulan: Urban Farming, Jaminan Sosial, dan Pembangunan Stadion
Sang ibu, Kamsida, panik dan berusaha mencari tahu keberadaan anak-anaknya. Dari Pos Polisi Rappocini hingga Hertasning, ia berkeliling tanpa hasil. Saat akhirnya mengetahui ketiganya dibawa ke Pos Polisi Hertasning, ia tetap tidak diperbolehkan bertemu.
Dalam pemeriksaan, Rian mengaku disiksa hingga terpaksa mengakui tuduhan ikut melempar batu ke kantor DPRD Sulsel. Tubuhnya babak belur, perut dan punggung dipukul dengan pipa oranye, kepalanya dihantam berkali-kali, dan kakinya dipukul batu hingga luka. Ia bahkan dipaksa melakukan posisi split sementara tubuhnya ditindih. Penyiksaan berlangsung hingga menjelang subuh, ditandai suara azan pertama dari masjid sekitar.
Randi pun bernasib sama. Ia ditampar dan dipukul hingga terpaksa mengakui tuduhan yang sama, padahal ia mengaku berada di tempat berbeda pada malam kejadian.
Sedangkan Rama, sempat diinterogasi dengan tuduhan terlibat dalam pembakaran, namun kemudian dipulangkan pukul 03.00 Wita setelah polisi menyatakan ia tidak terlibat.
Ibu mereka sempat berharap kejelasan. Saat kembali ke Polda Sulsel, barulah aparat menyerahkan dua amplop berisi surat penangkapan dan penahanan untuk Randi dan Rian.
Dalam surat itu, keduanya dijerat Pasal 187 ayat (1) huruf 3, subsider Pasal 170 ayat (1), subsider Pasal 406 junto Pasal 64 KUHP, dengan laporan polisi tertanggal 1 September 2025.
Baca Juga : Dengan Mulia Berjasa, Aliyah Mustika Ilham Harap Masyarakat Rentan Semakin Terlindungi
Kini, keduanya masih ditahan di Dit Tahti Polda Sulsel. Melalui Koalisi Bantuan Hukum Rakyat Makassar (KBHRM), keluarga mereka mengajukan pra peradilan yang dijadwalkan berlangsung 3 November 2025, untuk menantang sah tidaknya penangkapan dan penahanan tersebut.
Tim hukum menilai langkah kepolisian penuh pelanggaran prosedural dari penetapan tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup, hingga penggunaan kekerasan selama pemeriksaan.(*)

Tinggalkan komentar