Konawe, Celoteh.Online – Di tepi Sungai Motui, kehidupan yang dulu tenang kini berubah menjadi cerita tentang perjuangan dan kekecewaan. Sungai yang dahulu menjadi sumber penghidupan nelayan dan petani tambak di kawasan industri Morosi, kini perlahan berubah warna dan kehilangan kehidupan.

“Di tanggal 07 Oktober 2024 itu pernah terjadi ikan mati massal di tambak,” tutur Anas Padil, seorang warga terdampak, saat dihubungi melalui telepon pada 2 Oktober 2025.

Baca Juga : Putusan Inkrah Diabaikan: PLTU PT OSS Terus Beroperasi di Tengah Protes Warga Morosi

Ia masih ingat betul hari itu. Air tambak keruh, bau logam menyengat, dan ikan-ikan mengapung satu per satu.

“Hasil uji lab menunjukkan sungai itu tercemar logam berat. Uji lab itu kami jadikan alat bukti di Pengadilan Negeri Unaaha, dan kami menangkan perkara lingkungan hidup itu,” tambahnya.

Namun kemenangan itu seperti kemenangan di atas kertas. Sungai tetap tercemar, perusahaan tetap beroperasi, dan warga kembali menanggung akibat.

“Pihak perusahaan bukannya kemudian melakukan pemulihan lingkungan, justru malah menambah kerusakan-kerusakan baru. Bahkan lebih parah sejak operasi PLTU aktif, PLTU batu bara milik PT OSS,” kata Anas.

Setelah putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Unaaha, masyarakat berharap kehidupan di Morosi membaik. Tetapi, harapan itu pupus. Setiap hari, asap dari cerobong PLTU menutupi langit desa. Air sungai yang seharusnya jernih kini berwarna pekat.

“Alih-alih memperbaiki instalasi pengelolaan air limbah, perusahaan malah membiarkannya. IPAL yang ada tidak sesuai dengan standar yang sudah ditentukan,” keluhnya.

Baca Juga : Protes Penutupan Kali Alam, Warga Kapoiala Baru Blokade Jalan Milik PT OSS

Warga pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan protes, baik lewat aksi langsung maupun jalur hukum.

“Mereka sebenarnya sudah melakukan berbagai macam upaya bentuk protes baik non-litigasi maupun litigasi. Tapi tidak pernah didengar. Pemerintah menanggapi, tapi tidak tuntas. Nggak ada proses penyelesaian,” kata Anas dengan nada kecewa.

Di antara kepulan debu dan bau limbah, masyarakat Morosi tetap bertahan. Banyak yang memilih tetap mengolah tambak, karena tak punya pilihan lain.

“Tebaran-tebaran debu yang dirasakan masyarakat itu nggak ada perubahan sama sekali,” ujar Anas.

Debu hitam dari sisa pembakaran batu bara kerap menutupi peralatan rumah, menempel di daun-daun tanaman, bahkan mengendap di pernapasan warga.

Keresahan warga Morosi kini bukan sekadar tentang pencemaran, tapi tentang keadilan yang tak pernah benar-benar hadir.

Baca Juga : Warga Desa Banggina Gelar Aksi Pemalangan, Tuntut Perbaikan Jalan dari PT OSS

“Perusahaan ini sudah terbukti melawan hukum, tapi tetap beroperasi dan membuang limbah. Artinya mereka tidak peduli terhadap negara dan warganya dalam upaya pemulihan lingkungan,” tegasnya.

Meski suara warga sudah sampai ke pengadilan, hasilnya tak pernah benar-benar dirasakan. Putusan yang seharusnya membawa pemulihan lingkungan, kini hanya menjadi dokumen hukum tanpa eksekusi. Sungai Motui tetap berwarna keruh, tambak kehilangan hasil, dan udara di Morosi masih berdebu.

Namun bagi Anas dan warga lain, perjuangan belum selesai.

“Ini bukan sekadar soal limbah, tapi soal ruang hidup yang dirampas. Kami hanya ingin hidup sehat di tanah sendiri,” ujarnya.

Kontributor : Dwiki Luckinto Septiawan

celotehmuda