Oleh : Almuhaimin Haris Lioang

Demokrasi Indonesia saat ini mengalami ujian serius di tengah kebebasan berpendapat yang terancam oleh tindakan represif aparat keamanan. Gelombang demonstrasi pada Agustus 2025 yang diwarnai dengan berbagai tuntutan sosial dan politik mendapat respons aparat yang represif, dengan penggunaan kekerasan berlebihan seperti gas air mata, water cannon, dan tindakan fisik yang bahkan menyebabkan korban jiwa seperti meninggalnya seorang pengemudi ojek daring akibat terlindas kendaraan taktis Brimob. Tindakan aparat ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan yang menilai bahwa aparat seharusnya melindungi bukan menindas rakyat, serta memperingatkan bahwa represi tersebut justru memperbesar ketidakpercayaan publik terhadap negara dan demokrasi Indonesia.
Demonstrasi tersebut tidak hanya menyoroti isu kebijakan yang timpang, tetapi juga tekanan ekonomi yang mencekik rakyat, sehingga mereka menyuarakan ketidakadilan yang meluas dari sudut politik hingga ekonomi. Aparat keamanan juga dikritik karena membatasi akses bantuan hukum bagi massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang, termasuk anak di bawah umur. Organisasi seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang harus dihormati aparat dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia dan profesionalitas. Aksi represif yang berlebihan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan hak konstitusional warga negara.
Secara keseluruhan, situasi ini menjadi alarm bagi demokrasi Indonesia yang mensyaratkan pemerintah, aparat, dan legislatif untuk mendengarkan suara rakyat, berhallakan keadilan, dan menjunjung tinggi hak kebebasan berpendapat tanpa intimidasi atau kekerasan. Kegagalan dalam mengelola aspirasi publik dengan baik dan tindakan represif aparat yang berlebihan dapat mengancam kelangsungan demokrasi dan menimbulkan konflik sosial yang lebih luas di masa depan.

Tinggalkan komentar