Oleh : Muh. Nur

Sejarah telah membuktikan bahwa seni, terutama musik, sering kali menjadi medium paling efektif untuk mengartikulasikan keresahan sosial. Dari lagu-lagu Bob Dylan yang mengkritik perang dan ketidakadilan di Amerika, hingga punk Inggris ala The Clash yang menentang otoritarianisme, musik selalu menjadi alat bagi rakyat untuk menentang sistem yang dianggap menindas. Fenomena serupa terjadi di Indonesia, dengan hadirnya Bayar, Bayar, Bayar dari Sukatani—sebuah lagu yang menggugat praktik pungutan liar oleh oknum aparat penegak hukum.
Baca juga : Perempuan dan Perawatan Ekonomi
Liriknya yang tajam dan tanpa basa-basi mengingatkan pada tradisi punk klasik yang menolak kompromi dengan otoritas. Namun, respons terhadap lagu ini justru membuktikan bahwa kritik masih dianggap sebagai ancaman. Dengan adanya tekanan yang berujung pada permintaan maaf dan penarikan lagu dari peredaran, negara kembali menunjukkan wajah lama: kritik terhadap institusi tidak dihadapi dengan introspeksi, melainkan dengan represi.

Hal ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Di era Orde Baru, musik dan seni yang mengkritik pemerintah kerap diberangus, seperti kasus Bento dan Kretek-Kretek dari Iwan Fals yang dilarang karena mengandung kritik tajam terhadap penguasa. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa represi semacam ini justru memicu perlawanan yang lebih besar.
Baca juga : Dari Sekolah dan Klub Menuju Kebangkitan Olahraga Hoki di Sulsel
Jean-Paul Sartre pernah berujar bahwa “kata-kata adalah senjata yang lebih kuat dari peluru.” Dalam konteks ini, musik menjadi alat perjuangan yang efektif karena ia menembus batas kelas sosial dan intelektual, menyampaikan pesan dengan cara yang langsung dan emosional. Semakin ditekan, semakin banyak orang yang ingin tahu, memahami, dan menyebarkan pesan yang sebelumnya ingin dibungkam.
Kasus Sukatani membuktikan bahwa represi terhadap seni tidak pernah benar-benar berhasil. Justru, upaya membungkam kritik lewat ancaman dan tekanan hanya akan melahirkan lebih banyak bentuk perlawanan. Jika pemerintah atau institusi tertentu ingin membangun kepercayaan publik, membungkam kritik bukanlah solusi.
Baca juga : Kebenaran : Sebuah Mozaik yang Terus Menyusun Diri
Sebaliknya, reformasi dan transparansi adalah jawaban yang lebih elegan. Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam selamanya—musik hanya salah satu cara agar suara itu terus bergema.


Tinggalkan komentar