Oleh : Muh. Nur (Cek Celoteh muda)

Mendekati Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dinamika politik semakin memanas. Di tengah upaya para kandidat memikat hati pemilih, fenomena taruhan atau judi mulai muncul sebagai “strategi” yang mengkhawatirkan. Dalam praktiknya, taruhan ini sering melibatkan nominal fantastis, bahkan mencapai miliaran rupiah. Apakah ini bagian dari strategi tim pemenangan untuk membangun militansi, atau justru sekadar panggung bagi oknum yang mencari keuntungan dari kerumunan politik?

Taruhan sebagai Pemantik Militansi

Di permukaan, sebagian pihak mungkin melihat taruhan sebagai cara membangun militansi. Dengan melibatkan uang, loyalitas para pendukung terhadap kandidat tertentu bisa dimanfaatkan. Mereka yang bertaruh tentu memiliki kepentingan pribadi agar kandidat yang dijagokan menang, sehingga muncul dorongan untuk bekerja lebih keras dalam menyebarkan pengaruh. Namun, apakah ini sejalan dengan semangat demokrasi?

Dalam konteks ini, judi tidak hanya mencederai etika politik, tetapi juga merusak tatanan moral masyarakat. Strategi semacam ini justru berisiko menciptakan polarisasi yang lebih tajam. Ketika kalah, para pendukung tidak hanya kehilangan kandidat yang diharapkan, tetapi juga kehilangan uang mereka. Ini bisa memicu konflik horizontal di masyarakat.

Judi: Arena Para Pekerja Gelap

Fenomena taruhan besar-besaran ini juga membuka peluang bagi para pekerja gelap di dunia perjudian. Mereka memanfaatkan momentum politik untuk memperluas jaringan bisnisnya. Dengan adanya keterbukaan media sosial, ajakan untuk bertaruh bahkan dilakukan secara terang-terangan. Di sinilah kelemahan pengawasan oleh lembaga seperti Bawaslu menjadi sorotan. Ketidaktegasan dalam menangani praktik-praktik ilegal ini semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan demokrasi yang jujur dan adil.

Demokrasi yang Terkikis

Taruhan dalam Pilkada bukan hanya soal uang. Ini tentang bagaimana proses demokrasi yang ideal—berbasis pada ide, program, dan integritas kandidat—digantikan oleh kalkulasi materi. Ketika politik menjadi sekadar permainan judi, esensi Pilkada sebagai pesta rakyat untuk menentukan pemimpin yang terbaik hilang begitu saja.

Praktik semacam ini memperlihatkan wajah demokrasi yang kian pragmatis dan transaksional. Bukan lagi soal mencari pemimpin yang membawa perubahan, tetapi soal menang atau kalah dalam taruhan. Lebih buruk lagi, hal ini menunjukkan bahwa demokrasi kita tidak hanya bisa dirusak oleh elit politik, tetapi juga oleh masyarakat yang terjebak dalam permainan kotor ini.

Peran Pengawasan dan Edukasi

Bawaslu sebagai pengawas pemilu memiliki peran strategis untuk memberantas praktik semacam ini. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten harus menjadi prioritas agar Pilkada tidak menjadi arena judi massal. Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga integritas demokrasi harus diperkuat.

Masyarakat juga perlu diajak untuk lebih kritis dan aktif melaporkan praktik-praktik ilegal ini. Demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada sistem, tetapi juga pada partisipasi rakyat yang sadar akan tanggung jawabnya.

Kesimpulan

Apakah proses demokrasi kita harus sejahat ini? Tidak seharusnya. Demokrasi adalah tentang memilih pemimpin yang terbaik, bukan tentang siapa yang bisa memenangkan taruhan. Taruhan atau judi dalam Pilkada, meskipun mungkin dianggap strategi oleh sebagian pihak, hanya akan merusak moralitas dan menodai kepercayaan masyarakat terhadap proses politik. Mari kita jadikan Pilkada sebagai ajang membangun bangsa, bukan merusaknya.


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda