MENUJU PERJANJIAN BONGAYA

Fase Pertengahan II Perang Makassar, Akhir 1667

Bagian I: Jatuhnya Benteng-Benteng Strategis

Atmosfir semakin mencekam. Komandan benteng, Karaeng Galesong, menerima laporan dari pengintai. Dari tiga arah berbeda, musuh mulai mendekat: pasukan VOC dari laut, Arung Palakka dari timur, dan sebagian laskar sendiri yang berbalik mendukung musuh. Karaeng mengepalkan tangannya, merasakan pahitnya pengkhianatan di saat-saat genting. Blokade panjang serta propaganda VOC telah berhasil merusak kesetiaan beberapa bangsawan lokal. Di tengah persiapan evakuasi, tekad untuk tidak menyerah tanpa perlawanan terpancar dari wajah pasukannya; mereka siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan nyawa mereka.

Bagian II: Tekanan yang Memuncak

Di istana Gowa, Sultan Hasanuddin berdiri memandangi peta besar wilayahnya. Penanda-penanda benteng yang jatuh satu per satu menciptakan pemandangan getir akan kondisi pertahanan yang kian melemah. Hanya Somba Opu yang masih bertahan, namun sampai kapan ia bisa bertahan masih menjadi tanda tanya besar. Cornelis Speelman, pemimpin VOC, semakin percaya diri akan kemenangan mereka. Bantuan dari Banten dan Mataram tidak kunjung tiba, dan semakin hari semakin banyak asap pertempuran yang membumbung di kejauhan. Sultan menyadari, setiap titik asap yang terlihat adalah saksi pengorbanan rakyatnya. Tanpa suara, ia bertanya dalam hati, berapa lagi darah yang harus tertumpah demi mempertahankan tanah kelahirannya?

Jika dibiarkan, rakyat jadi korban. Blokade pelabuhan yang dilakukan oleh Arung Palakka cs memukul perekonomian Gowa. Sekutu-sekutu yang diharapkan membantu tak kunjung bereaksi. Portugis yang selama berapa dekade diberi keleluasaan di tanah Makassar nampak hanya setengah hati saja.

Bagian III: Awal Negosiasi

Di atas kapal yang berlabuh tak jauh dari Gowa, Cornelis Speelman membaca laporan tentang semakin terdesaknya pasukan Gowa. Dengan senyum tipis, ia merasa saatnya semakin dekat untuk menundukkan Gowa. Ultimatum segera dikirim ke istana: VOC meminta penyerahan sebagian wilayah, monopoli perdagangan, dan pengakuan atas supremasi mereka. Jika tidak, kehancuran total akan menjadi jawaban. Di balairung istana, perdebatan sengit berkecamuk. Para bangsawan berjuang antara harga diri dan realitas, menyadari bahwa rakyat mereka menderita, perdagangan lumpuh, dan benteng-benteng semakin lama semakin jatuh ke tangan musuh. Tapi…

Pembesar istana bingung.

Bagian IV: Menuju Bongaya

Tanggal 18 November 1667 tiba, dan di perkampungan Bongaya, kedua pihak bertemu untuk perundingan. Sultan Hasanuddin dan Cornelis Speelman duduk berhadapan dalam ketegangan yang memenuhi udara. Dokumen perjanjian tergeletak di hadapan Sultan. Kata-kata yang tercetak di sana tajam menusuk hatinya: MONOPOLI VOC, PENYERAHAN WILAYAH, PEMBATASAN KEKUASAAN GOWA. Bagi Sultan, dokumen itu adalah simbol dari kehancuran; VOC memberinya pilihan antara kehancuran cepat atau kehancuran perlahan. Namun Speelman, dengan diplomasi yang halus, menawarkan ini sebagai kesempatan untuk mengakhiri perang, memberi harapan bahwa Gowa tetap berdaulat dengan “beberapa penyesuaian.” (disadur dr FB andysubandydaengsiatang)


Eksplorasi konten lain dari Celoteh Online

Dukung kami dengan Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

celotehmuda